Minggu, 11 Oktober 2015

BAB KEDUA BELAS : BERNADZAR UNTUK SELAIN ALLAH ADALAH KESYIRIKAN (Bagian 1)

〰〰〰〰〰〰
Silsilah KAJIAN TAUHID ke 4⃣4⃣
✏️ Al-Ustadz Abu Utsman Kharisman حفظه الله

〰〰〰〰〰〰

Pendahuluan

Nadzar adalah ucapan dari seorang mukallaf untuk mewajibkan sesuatu pada dirinya sendiri yang secara asal tidak diwajibkan oleh syariat Islam.

Macam nadzar terkait dengan kejadian atau persyaratan tertentu, ada 2:

1. Nadzar muqoyyad.

Nadzar yang mempersyaratkan tercapainya sesuatu dalam melakukan suatu amalan.

Contoh, seorang mengucapkan: Saya bernadzar akan bershodaqoh 1 juta rupiah jika sembuh dari sakit ini.

Nadzar jenis ini adalah makruh. Karena ucapan nadzar tersebut tidaklah mendatangkan kebaikan (bukan penyebab kesembuhannya dari penyakit), dan menunjukkan kebakhilan orang tersebut. Ia tidak akan bershodaqoh 1 juta rupiah jika ia tidak disembuhkan dari penyakit.

لَا تَنْذِرُوا فَإِنَّ النَّذْرَ لَا يُغْنِي مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ

Janganlah kalian bernadzar (muqoyyad). Karena nadzar tidaklah bermanfaat terhadap takdir. Dan nadzar tersebut hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil (H.R Muslim dari Abu Hurairah).

Hal lain yang menunjukkan secara asal terlarangnya nadzar muqoyyad ini adalah karena orang yang bernadzar semacam ini memiliki persangkaan yang buruk terhadap Allah (su-udz dzhon). Ia menyangka Allah tidak akan memberikan sesuatu kepadanya kecuali dengan adanya imbalan.

2. Nadzar mutlak.

Nadzar yang tidak ada kaitan dengan kejadian atau persyaratan tertentu.

Nadzar yang demikian adalah mubah. Misalkan tanpa ada sebab tertentu, karena ia melihat ada unsur kemalasan dalam dirinya, ia bernadzar: Saya bernadzar untuk mengerjakan qiyaamul lail malam ini 11 rokaat. Maka ia harus mengerjakannya. Jika ternyata tidak dilaksanakan, ia membayar kaffaroh sumpah.

Menunaikan nadzar ketaatan hukumnya adalah wajib. Jika seseorang sudah terlanjur bernadzar untuk Allah dalam rangka mengerjakan suatu ketaatan yang mampu dia lakukan, maka ia harus menunaikannya. Kedua jenis nadzar di atas, jika tidak bisa mengerjakannya, maka ia membayar kaffaroh sumpah, sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Maaidah ayat 89.

Dalam hal pembahasan akidah, nadzar ada 3 jenis, yaitu:

1. Nadzar syar’i : nadzar yang diniatkan dan diucapkan untuk Allah.

2. Nadzar kebid’ahan: nadzar yang ditujukan untuk Allah, namun dimaksudkan untuk dikerjakan pada tempat tertentu karena menganggap bahwa di tempat itu ada keutamaan (padahal tidak). Atau seseorang yang bernadzar untuk menjalankan kebid’ahan. Nadzar ini tidak boleh dikerjakan, dan jika tidak dikerjakan membayar kaffaroh sumpah.

Contoh: bernadzar menyembelih untuk Allah, tapi di kuburan fulaan (seorang sholih). Amalan ini adalah kebid’ahan, dan bisa masuk kategori syirik kecil. Sebagaimana penjelasan Syaikh Ubaid al-Jabiry dalam audio syarh Kitabit Tauhid (file no 9 menit 33).

3. Nadzar kesyirikan: jika seseorang bernadzar bukan untuk Allah dalam rangka mengagungkan pihak yang dijadikan sasaran nadzar tersebut.

Contoh: seseorang yang menyatakan: saya bernadzar kepada Wali fulaan, atau Nabi, atau pihak tertentu jika saya lulus dari ujian pekerjaan ini saya akan melakukan ini dan ini. Nadzar ini tidak sah, dan orang yang bernadzar harus bertaubat kepada Allah dengan taubatan nashuha.

Nadzar adalah suatu ibadah. Menyerahkannya untuk selain Allah adalah kesyirikan besar. Sebagaimana akan dijelaskan insyaAllah dalam dalil-dalil pada bab ini yang menunjukkan bahwa nadzar adalah ibadah.

Terkait dengan pembahasan fiqh dan hukum menunaikan nadzar, nadzar terbagi menjadi 5 hal:

1. Nadzar ketaatan, wajib ditunaikan.

Seperti seseorang yang bernadzar untuk mengerjakan puasa sunnah, shodaqoh, atau sholat sunnah.

2. Nadzar terhadap sesuatu yang makruh, sebaiknya tidak ditunaikan, dan ia membayar kaffaroh sumpah.
Contoh: seseorang bernadzar menceraikan isterinya. Secara asal, hukum menceraikan adalah makruh. Maka sebaiknya hal ini tidak ditunaikan, dan saat ia terlanjur bernadzar, sebaiknya memilih untuk membayar kaffaroh sumpah.

3. Nadzar terhadap sesuatu yang mubah.

Contoh: seseorang bernadzar untuk memakai pakaian tertentu. Jika ia melaksanakannya maka terlaksana nadzar itu. Jika ia ternyata tidak mengerjakannya, maka ia membayar kaffaroh sumpah.

4. Nadzar kemaksiatan atau haram.

Contoh: seseorang bernadzar untuk melakukan kemaksiatan, seperti minum khamr. Ia haram menunaikan nadzarnya, dan ia wajib membayar kaffaroh sumpah.

5. Nadzar al-Lajjaaj (bersikeras terhadap sesuatu) atau karena marah.

Nadzar yang diucapkan untuk menegaskan dan meyakinkan sesuatu. Sebagai contoh, saat dua orang sedang berdebat tentang suatu peristiwa, satu pihak menyatakan itu benar-benar terjadi dan pihak lain menyatakan tidak terjadi. Kemudian satu pihak bernadzar: Aku bernadzar kalau itu ternyata benar-benar terjadi, aku akan puasa setahun. Kalau ternyata dalam kenyataan hal itu terjadi, maka ia memiliki pilihan untuk mengerjakan nadzarnya atau membayar kaffaroh sumpah.

(poin-poin ini disarikan dari penjelasan Syaikh Ibn Utsaimin dalam al-Qoulul Mufiid syarh Kitaabit Tauhid)

Bernadzar mestinya untuk sesuatu yang tidak memberatkan.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَلَغَهُ أَنَّ أُخْتَ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ مَاشِيَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنْ نَذْرِهَا مُرْهَا فَلْتَرْكَبْ (رواه أبو داود وصححه الألباني)

Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu anhu- bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam ketika sampai kabar kepada beliau bahwa saudara perempuan Uqbah bin Amir bernadzar untuk berangkat haji dengan berjalan kaki (padahal itu berat, pent), beliau bersabda: Sesungguhnya Allah sangat tidak butuh dengan nadzarnya. Perintahkan kepadanya untuk (menunaikan nadzarnya) dan hendaknya ia berkendara (dalam naik haji)(H.R Abu Dawud, dishahihkan al-Albany)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ قَائِمٍ فَسَأَلَ عَنْهُ فَقَالُوا أَبُو إِسْرَائِيلَ نَذَرَ أَنْ يَقُومَ وَلَا يَقْعُدَ وَلَا يَسْتَظِلَّ وَلَا يَتَكَلَّمَ وَيَصُومَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ (رواه البخاري)

Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu anhu- beliau berkata: Ketika Nabi shollallahu alaihi wasallam sedang berkhutbah, tiba-tiba (beliau melihat) ada seseorang yang berdiri. Kemudian beliau bertanya tentang orang tersebut. Para Sahabat menjawab bahwa orang itu adalah Abu Israil yang bernadzar untuk berdiri tidak duduk, tidak bernaung, tidak berbicara, dan berpuasa. Maka Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: Perintahkan kepadanya untuk berbicara, bernaung, duduk, dan menyempurnakan puasanya (H.R al-Bukhari)

Kaffaroh Sumpah

Bagi yang telah bernadzar dan tidak mampu menunaikannya, maka ia harus membayar kaffaroh sumpah sebagaimana disebutkan dalam surat al-Maaidah ayat 89, yaitu:

1. Memberi makan sepuluh orang miskin.

Kalau dalam bentuk makanan pokok, takarannya adalah tiap orang miskin 0,5 sha’ (sekitar 1,5 kg). Kualitas makanan pokoknya adalah pertengahan dari yang biasa dimakan. Dulu di masa Sahabat ada kualitas makanan yang biasa dimakan saat banyak rezeki, dan ada juga kualitas makanan yang biasa dimakan saat kekurangan. Maka Allah memberikan batasan pertengahan untuk kualitas makanan yang diberikan.

Kalau dalam bentuk makanan siap saji, kata sebagian Sahabat Nabi adalah roti dan daging. Atau, kalau di Indonesia adalah nasi dan daging.

Sasaran pemberian makanan adalah 10 orang miskin yang berbeda-beda. Tidak boleh memberi satu orang miskin untuk 10 hari. Hal ini sebagaimana pendapat asy-Syafi’i dan juga difatwakan oleh al-Lajnah ad-Daaimah.

2. Memberi pakaian sepuluh orang miskin, yaitu pakaian yang bisa digunakan untuk sholat.

3. Memerdekakan budak.

Ketiga hal itu adalah pilihan. Jika salah satu dari ketiganya tidak bisa dilakukan, maka ia berpuasa 3 hari. Tidak boleh memilih berpuasa 3 hari sebelum salah satu dari ketiga pilihan di atas sudah benar-benar tidak mampu dilaksanakan. Apakah 3 hari berpuasa itu harus berurutan? Syaikh al-Albany dalam Irwaaul Gholiil berpendapat bahwa tambahan kata “mutataabi’aat” (berurutan) dalam qiro’ah Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud adalah tsabit dengan beberapa jalur periwayatan. Al-Lajnah ad-Daaimah berfatwa bahwa yang afdhal (lebih utama) adalah berpuasa 3 hari berurutan.

〰〰〰

Disalin dari buku "Tauhid Anugerah yang Tak Tergantikan (Syarh Kitabit Tauhid)".

⏳ Insya Allah bersambung

WA Salafy Kendari

Kajian Ilmiah Bontang